Kepemimpinan politik merepresentasikan tidak lain kategorisasi dari kepemimpinan itu sendiri serta dari perspektif yang lebih elusif (susah dipahami) lagi. Untuk dapat mengerti, kita harus menyelidiki konsep general dari kepemimpinan itu sendiri. Kecurigaan terhadap kepemimpinan berekstensi kembali pada sejarah dari pemikiran sosial itu sendiri, serta konsepsi yang ada telah berfluktuasi dari konsep kepahlawanan menjadi sebuah konsep kepemimpinan yang lebih bersifat “the Common Man”. Kini, pemahaman mengenai kepemimpinan jauh lebih ambiguis ketimbang masa-masa sebelumnya. Disisi lain, dua perang dunia yang pernah terjadi serta terjadi fasisme dan nazisme telah membuat sebuah penyebarluasan ketidakpercayaan terhadap para pemimpin yang ada. Tetapi dari sisi lain, peningkatan daripada kompleksitas sosial yang ada menciptakan sebuah penyebarluasan permintaan bagi para pemimpin yang ada.

Terdapat banyak faktor-faktor sosiologis serta psikologis yang berargumen bahwasanya terdapat sedikit ruang yang tersisa bagi kepemimpinan personal dalam sebuah tatanan sosial kontemporer dengan koneksi-koneksi yang begitu banyak bagi fungsi-fungsi sosial dan interpersonal melalui organisasi standard. Namun demikian, hampir setiap generasi sudah mendengar complain yang menyatakan serta mengakui bahwa komunitasnya merupakan sebuah komunitas yang tidak memiliki pemimpin. Yang justru aneh pada waktu itu adalah kepemilikian yang begitu intesif perihal permasalahan-permasalahan kepmimpinan serta preokupasi yang terlalu bermanifestasi pada literasi seperti pada kursus-kursus pelatihan, questioner perihal pekerjaan, serta banyak lagi jalan lainnya. Secara sederhana, sangatlah sebuah kebersyukuran untuk berasumsi bahwa revolusi sosial telah membuat kepemimpinan personal menjadi berlebihan. Namun demikian, evolusi sosial telah membuahkan perubahan di alam serta kondisi dari kepemimpinan itu sendiri. Pertalian keluarga, guilde, bangunan-bangunan lama, gereja, serta keluarga di masa lalu telah membuat perubahan di pusat-pusat kekuasaan serta pusat-pusat dari otoritas yang ada. Tetapi bagi individu-individu yang ingin mengeksplorasi kepemimpinan pada masa kini diharuskan untuk melihat organisasi-organisasi yang ada dalam skala yang besar, kelompok-kelompok voluntir, serta media-media komunikasi.

*|picture taken from freepik.com

Konsep daripada kepemimpinan itu sendiri telah banyak membingungkan sebagian telah diklarifikasi oleh teori-teori sosial yang ada. Sebagai contoh, Eugene E Jennings, menyatakan bahwa studi-studi empiris mengenai kepemimpinan adalah sebuah pemakaian yang terbilang omnibus yang mana hal tersebut diaplikasikan secara indiskriminan pada berbagai peran sebagai tempat bermain pemimpin, pemimpin rapat, pemimpin klub, eksekutif bisnis, politisi, serta hal-hal yang serupa. Namun demikian, hal yang paling penting pada subjek kali ini adalah teori-teori yang dikemukakan oleh Max Weber, yang mana tulisannya dimulai sejak tahun 1920an. Terdapat banyak diskusi perihal kepemimpinan yang telah mengalami penambahan-penambahan, perbaikan, serta penyempurnaan yang berdasarkan pada sudut pandang dari Max Weber itu sendiri.

Memahami kepemimpinan dari pergantian atensi dari kelompok yang besar kepada kelompok yang lebih kecil lagi. Kondisi daripada interplay antara sifat-sifat personal serta lingkungan dalam memproduksi pemimpin telah dilempar kepada sebuah relief yang tajam, serta, yang lebih penting lagi, kesesuaian serta kriteria yang eksplisit bagi pengukuran kepemimpinan tersebut sangatlah dinanti-nanti dan ditunggu-tunggu. Tentunya, terdapat juga kesulitan-kesulitan dalam mengaplikasikan kelompok-kelompok yang kecil kepada fenomena-fenomena dengan skala yang lebih besar seperti kepemimpinan politik, diatas semua karena berbagai kondisi menjadi tantangan dan rintangan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. Beberapa usaha dalam beberapa waktu lalu telah dilakukan untuk membuatkan jembatan kepada perbedaan ini, tetapi nampaknya masih banyak yang harus dilakukan. Sebagai kesimpulan, teori-teori yang bersifat saintifik bisa memberikan sedikit bantuan sehingga status dari kepemimpinan yang dibahas sebelumnya dapat tetap menjadi genting ataupun tidak pasti.

Dalam mengusahakan ataupun mengupayakan analisis yang dilakukan secara benar, bagaiamnapun juga, kita harus memulai dengan mencatat bahwa terdapat sebuah konsensus umum diantara para spesialis pada dua pusat fenomena yang ada. Yang pertama, kepemimpinan adalah sebuah hubungan antara satu orang dengan dua orang atau lebih yang mana orang-orang atau individu tersebut mempraktekkan serta melakukan pelatihan terhadap influence. Lalu kemudian, satu atau lebih orang mengumpulkan pengaruh-pengaruh tersebut. Diskusi di masa depan akan berubah mengikuti barisan-barisan serangan kata-kata yang ada lalu kemudian bereksplorasi ke dua atau lebih aspek yakni alam dari kepemimpinan itu sendiri sebagai fenomena sosial yang interpersonal, serta kondisi yang memungkinkan bagi pelatihan kepemimpinan, secara partikuler dalam sebuah hubungan yang sifatnya adalah politis.

Ada beberapa poin penting perihal konsep daripada kepemimpinan politik itu sendiri. Ketika dikatkaan bahwa kepemimpinan adalah sebuah fungsi kelompok, itu artinya bahwasanya kepemimpinan timbul kapanpun interaksi ada antara sejumlah atau sekumpulan individu dalam sebuah pola yang terstruktur yang tentunya dilakukan dengan subordinasi serta otoritas. Dapat dipahami juga bahwa satu diantara berbagai fungsi dari kelompok produksi tersebut adalah kepemimpinan itu sendiri.

Sangatlah penting untuk mengetahui kepemimpinan sebagai sebuah pola. Dengan melakukan hal tersebut, terdapat tiga esensi atau komponen utama yang menjadi terungkap. Pertama adalah pemimpin  ataupun team dari pemimpin-pemimpin tersebut, pengikutnya, serta hubungan fungsional yang muncul diantara mereka. Dari ketiga elemen tersebut, hubungan fungsional adalah pusat dari tujuan-tujuan analitis yang ada. Sebagian  besar perihal kepemimpinan adalah kurang karena hal-hal tersebut tidak melihat eksistensi dari elemen yang ketiga. Ketika hal ini terjadi, akan ada banyak sekali debat perihal pentingnya kepemimpinan dari sifat-sifat personal yang ada dari sudut pandang pemegang situasi yang mebuat steril melihat bahwa terdapat dua atau lebih faktor yang dilihat sebagai sesuatu yang terbilang ekslusif. Ketika sebuah kepemimpinan dilihat sebagai sebuah pola, bagaimanapun, hal tersebut semakin jelas bahwa hal tersebut adalah “bersifat keduanya sebagai situasi sosial dan juga sebagai fungsi dari personalitas itu sendiri, serta juga sebagai fungsi dari dua interaksi tersebut.

Kepemimpinan tersebut bukan semata-mata sebagai fungsi dari seorang pemimpin yang bertindak sendiri, melainkan sebuah hasil daripada interaksi antara anggota-anggota dari kelomopk tersebut. Hal tersebut tentunya harus gampang diketahui. Sebuah sebutan “aku adalah pemimpin mereka, aku harus mengikuti mereka” mengekspresikan sebuah kondisi pikiran dimana pemimpin-pemimpin politik sudah memanifestasikan dengan satu atau berbagai cara. Koneksi ini dengan para pengikut nampaknya sangat terasa oleh berbagai autokrats yang eminent seperti Mussolini, Napoleon, ataupun Hitler.

Pengikut ataupun sifat penikut nampaknya melihat pemimpin sepanjang memiliki kalimat-kalimat yang sama. Studi-studi yang ada telah memperlihatkan bahwa kualitas yang paling dilihat dari seorang pemimpin adalah dilihat dari kemampuan mereka untuk bisa mencerminkan berbagai kelompok norma maupun kelompok aspirasi, yang ditambahkan kecerdasan untuk bisa memperbaiki kelompok-kelompok standard serta performa yang ada. Seorang pemimpin dilihat baik sebagai agen dari konservasi maupun sebagai agen dari inovasi itu sendiri. Kontradiksi dari hal ini hanyalah sebuah hal yang bersifat sebagai sebuah pakaian ataupun tampak luar saja. Peran pemimpin sebagai sebuah innovator hanya akan bisa diterima setelah pemimpin tersebut diberikan bukti perihal loyalitas kepada kelompok yang dipimpin tersebut.

Konsiderasi-konsiderasi yang ada menunjukkan bahwasanya individu-individu yang terlibat dalam pola-pola kepemimpinan terlibat didalam sebuah mode interaksi tertentu. Dari sudut pandang yang cenderung tidak peduli menjadi lebih peduli karena pola-pola tersebut memang jelas terlihat. Hal tersebut nampaknya mengkonsitusikan kondisi sentral dari kepemimpina itu sendiri perihal kepemimpinan. Lalu kemudian, sirkulitas ini dalam dilihat menggunakan kepemimpinan yang lebih bersifat politis. Namun demkian, hal  ini juga dapat ditemukan pada variabel-variabel lainnya juga, serta dapat diterima sebagai hipotesis dasar dalam melakukan eksplorasi yakni kepemimpinan dari frasa leadership itu sendiri.

Ketika kepemimpinan dilihat sebagai sebuah proses berkelompok, hal tersebut menjadi sebuah konsep yang lebih polyvalent. Hal ini juga dapat disebutkan sebagai kepemimpinan politis. Disini, kepemimpinan bervariasi bergantung pada apakah hal tersebut dilihat di dalam nilai-nilai bagi yang percaya, di dalam partai sebagai sebuah keseluruhan. Seringkali studi-studi perihal kepemimpinan politik dibatasi kepada hubungan dari pemimpin dan anak buah. Dalam banyak kasus, Latihan kepemimpinan yang sesungguhnya telah menjadi sebuah penaruh di dalam inti dari kepercayaan serta pengendalian terhadap partai-partai yang ada. Kepemimpinan sejatinya meluruskan sebuah varietas besar dari berbagai stimulant namun dalam pola-pola interaksi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, kepemimpinan dalam partai-partai politik merupakan sebuah sintesis dari peran banyak orang, termasuk pemimpin pertama, inti, serta aktivis dalam semua tingkatan, serta member-member individu. Apabila pemimpin pertama bergerak untuk memiliki dukungan dari inti, maka hal tersebut dapat disimpulkan bahwasanya partai-partai yang ada tersebut akan melewati sebuah krisis dari kepemimpinan itu sendiri. Kondisi yang mirip juga terjadi dengan cabinet-kabinet, direktur-direktur, serta organisasi-organisasi lainnya yang sifatnya adalah hubungan antar kolega. Apa yang dilakukan oleh perilaku kolega memang memperlihatkan bahwa kepemimpinan merupakan sebuah proses kelompok. Apa yang digagas oleh collegial behavior adalah bahwa hal tersebut memang menunjukkan bahwa kepemipinan adalah sebuah proses kelompok yang memperlihatkan bahwa dari segi pelatihan daripada otoritas, status, serta tenaga dari setiap anggota terikat dengan anggotap-anggota lainnya.

Fungsi kepemimpinan Nampak menjadi sebuah pelatihan dalam sebuah kompleksitas koneksi dari hal-hal yang terhubung serta terkadang justru bersaing perihal pusat dari otoritas kelompok yang ada. Lebih dari satu individu akan menjadi terlibat dan juga arti sebenarnya dari kepemimpinan itu sendiri berubah dan bergerak dari setiap hal tergantung dari performa serta hal-hal lainnya yang menjadi pusat otoritas. Lagi-lagi disini lingkaran dari naturalitas perihal kepemimpinan menjadi termanifestasi.

Adapun karakteristik lain dari kepemipinan dianggap sebagai sebuah proses kelompok adalah pentingnya komplementaritas dari kualitas personal serta sirkumstansi sebagai sebuah faktor kasuatif dari fenomena yang ada tersebut. Konsepsi ini melibatkan sebuah keberangkatan radikal dari sebuah pendekatan yang mana hal terpusat dalam kepemipinan seseorang lebih terpusat ketimbang proses kepemimpinan itu sendiri. Hal seperti ini cenderung selalu diasumsikan sebagai sebuah perbedaan yang tajam antara sifat-sifat personal serta faktor-faktor situasional.

Thomas heggen telah membersembahkan di dalam kondisi-kondisi yang memaksa bahwasanya kepemimpinan merupakan sebuah fenomena yang diambil dari sifat-sifat manusia semata. Dalam memperkenalkan Mister Roberts, naval hero nya menulis bahwa “dia lahir sebagai pemimpin dan tidak lain dari hal itu. Namun tidak semua partisan dari teori ini mengambil posisi ekstrem ini. Banyak diantara hal-hal penting perihal teori ini bisa diakuisisi, baik ke dalam, secara personal, ataupun Latihan yang terbilang special. Penulis-penulis lain akan berargumen bahwa pendekatan personal trait telah menjadi sebuah nilai yang terbilang analitis. Penggolongan yang dilakukan oleh Machiavelli baik sebagai singa maupun rusa telah menjadi analogi yang dianggap paling akurat. Apabila memang demikian, hal ini terjadi karena penulis dari tulisan The Prince berkonsentrasi secara maksimal dalam setiap tipe dari kepemimpinan politik, terutama “power seeker”.

Perihal political leadership, bagian humaniora daripada komunitas politik yang ada, serta peran yang bermeditasi membutuhkan sifat-sifat yang berbeda dari hal-hal yang menandakan pengelolaan bisnis yang baik ataupun pelatih ataupun mentor. Pertanyaan yang timbul adalah apakah terdapat kualitas yang special dari karakteristik serta intelegensi yang harus ditemukan pada kepemimpinan politik yang terbilang aktif? Pandangan perihal hal seperti ini terbilang impresionistik serta kontradiktori. Namun demikian, kelompok-kelompok kecil perihal kepemimpinan menunjukkan bahwa pemimpin memperlihatkan sedikit perbedaan dari member-member lain dari grup perihal sifat-sifat personalistic. Tidak hanya bahwasanya mengharapkan agar pemimpin mereka memiliki obsesi terhadap kualitas-kualitas yang diperlukan bagi krisis-krisis selanjutnya, tetapi dalam muka perihal bukti terhadap kontrari yang ada, mereka akan dengan mudah membiarkan mereka menjadi terpengaruh terhadap kualitas-kualitas yang akan muncul di masa depan. Tentunya dramatisasi yang berlebihan perihal kepemimpinan biasanya lebih terbukti dalam otokrasi-otokrasi yang ada. Dramatisasi perihal kepemipinan politik juga bangkit dari seorang individu serta kebutuhan-kebutuhan kolektif yang dihasilkan oleh dan dari sistem politik yang ada serta lingkungannya.

Perlu diketahui bahwa terdapat kebutuhan-kebutuhan dasar untuk konsensus yang masuk akal dalam komunitas politik yang mana hal tersebut merupakan sebuah hal yang mudah bagi masyarakat sebagai norma kolektif yang memberikan reegulasi serta legitimasi terhadap hubungan-hubungan yang ada serta perilaku masyarakat.  Tentunya masyarakat luas menginginkan pemipinnya untuk menersukan serta memperlihatkan norma-norma yang sudah muncul. Dramatisasi dari kepemimpinan politik juga bangkit dari individu serta kebutuhan kolektif yang diproduksi dari kepemipinan politik serta lingkungan yang mendukung pembentukannya. Adapun kebutuhan lain yang bisa memberikan kebangkitan terhadap dramatisasi dari kepemimpinan politik adalah keperluan untuk memiliki kepercayaan. Dalam sebuah usia peradaban dimana agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengantarkan manusia menuju misteri-misteri kehidupan, para pemimpin politik secara mudah menjadikan hal tersebut sebagai sebuah objek dari sebuah sarana pemujaan yang lebih eksplitsit. Cromwell, Frederick, serta Napoleon telah berhasil lebih dari pemujaan yang dilakukan oleh Hitler, Stalin, serta Mao.

Adapun kebutuhan lainnya dari dramatisasi perihal kepemimpinan politik adalah keperluan untuk diselamatkan. Pemimpin politik sejatinya adalah pelindung daripada marabahaya-marabahaya dalam kehidupan. Selain itu, dianggap sebagai semacam penyelamat pada waktu-waktu yang berbahaya. Hal ini menjelaskan mengapa seorang pemimpin identic dengan sifat serta sikap yang keras. Sebuah kebutuhan untuk mencari perlindungan dari seorang pemimpin mungkin adalah sebuah alasan yang paling dalam perihal mengapa para pemimpin sejatinya melekat dengan kualitas-kualitas pahlawan, serta hal tersebut juga menangangkat manusia untuk cenderung memandang sebuah pemimpin, untuk menyentuh bajunya, bahkan yang lebih ekstrim lagi semacam tunduk terhadap seorang pemimpin yang ditakuti tersebut. Disisi lain, apabila seorang pemimpin tidak memiliki kualitas seperti yang disebutkan, masyarakat bisa saja menjadi tidak percaya lagi dengan pemimpin tersebut, bahkan cenderung pesimis terhadap keadaan sehingga terlalu pasrah apabila bencana akan datang, baik dari segi ekonomi, budaya, serta militer. Dengan demikian, seorang pemimpin dimanapun harus memiliki kualitas yang memadai agar supaya orang-orang yang dipimpin bisa hormat kepada pemimpin tersebut supaya keadaan menjadi lebih seimbang.

Tidak hanya fakta bahwasanya orang-orang mengharapkan agar pemimpin-pemimpin mereka memiliki kualitas yang memadai untuk menghadapi berbagai krisis. Termasuk di dalam pembuktian terhadap kontrari, itu semua akan mudah untuk diungkap bahwa kualitas-kualitas tersebut hadir sebagai pengecualian. Tentunya, kondisi-kondisi yang ekstrem perihal kepemimpinan biasanya lebih terbukti dalam otokrasi-otokrasi yang terorganisir dengan baik perihal prinsip personal ketimbang berada di dalam regim yang terbilang demokratis yang bersandar di dalam supremasi hukum. Tetapi, disisi lain, dramatisasi perihal kepemimpinan sejatinya lebih gampang terucap ketimbang dikerjakan dengan baik dan benar. Dramatisasi perihal kepemimpinan politik juga bangkit dari individu serta kebutuhan-kebutuhan kolektif yang diproduksi dari sistem politik beserta lingkungannya. Terdapat sebuah kebutuhan dasar bagi konsensus yang bisa dipercaya di dalam komunitas politik, bahwasanya terdapat kemudahan bagi masyarakat di dalam norma kolektif yang memberikan regulasi serta melegitimasi hubungan-hubungan yang ada beserta kelakuan dari masyarakat itu sendiri. Orang-orang mengharapkan pemimpinnya untuk meneliti lebih jauh perihal norma-norma yang disaebutkan. Manusia sejatinya mengharapkan pemimpin mereka untuk memiliki kualitas yang memadai.

Perubahan shift perihal emphasis dari gaya-gaya komando perihal pola-pola organisasi dalam hal pemberian otoritas sejatinya memberikan sebuah rasa bingung yang besar bagi para pembaca serta bagi para peneliti yang mencari-mencari mengenai bagaimana caranya membuat tafsiran serta kesimpulan terhadap teori yang dikemukakan oleh Max Weber. Kedua gaya tersebut baik itu komando maupun pola-pola organisasi dari otoritas harus dilihat sebagai proses kelompok yang terbilang derifatif. Meskipun gaya atau selera dari komando yang tersebut harus dalam sebuah kekompakkan ataupun harmonitas terhadap pola-pola organisasi yang berdasarkan pada kewenangan otoritas, sangatlah penting untuk melindungi komponen ataupun unsur yang satu dengan komponen ataupun unsur yang lainnya. Di dalam resor ataupun pengelompokkan yang terakhir, yang melakukan legitimasi terhadap gaya atau selera komando bukanlah organisasi melainkan kewenangan dari seorang pemimpin untuk mengkalibrasi norma-norma kelompok yang dipimpin tersebut.

Pada intinya, perlu diketahui juga bahwa kebutuhan untuk harus diselamatkan juga menjelaskan mengapa seorang pemimpin terkadang direputasikan sebagai suatu individu yang tidak boleh gagal ataupun tidak boleh memiliki kesalahan. Untuk mengantisipasi kegagalan dari orang lain, pemimpin seharusnya menjaga selera dan perbuatannya dari waktu ke waktu untuk tidak berbuat kesalahan. Pemimpin pada hakikatnya memiliki sifat dasar serta selera untuk membawa kelompok atau timnya menuju ke dalam kemajuan agar tujuan yang diinginkan bersama-sama dapat lebih mudah tercapai.

0 Comments

Sign in to write comment. Sign in